kependudukanyang banyak dianut saat ini adalah yang antinatalis. Kebijakan ini mempunyai tujuan utnuk menurunkan angka kelahiran. Negara-negara yang menjalankan program KB termasuk ke dalam kelompok negara yang antinatalis. Dibenua Asia kebijakan kependudukan dibagi menjadi dua, yakni pengikut kebijakan anti natalis dengan pengikut kebijakan CDRdapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini. CDR = M/P x 1.000. Keterangan : Ā· Kebijakan pro-natalis dan anti-natalis dari pemerintah tau masalah konflik agama yang berkepanjangan di negara kita ini Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terjadinya perpecahan dan konflik. Hal ini disebabkan akanmerugikan negara lain yang tidak menerapkan kebijakan sama Adanya tax. Akan merugikan negara lain yang tidak menerapkan. School Islamic University of Indonesia; Course Title ACCOUNTING - Uploaded By niningastri. Pages 9 Ratings 100% (1) 1 out of 1 people found this document helpful; Apaitu kebijaksanaan pro natalis? yang dimaksud dengan kebijaksanaan pro natalis adalah kata yang memiliki artinya dalam Keluarga Berencana, dll.. berikut ini untuk penjelasan apa arti makna dan maksudnya. DoktrinKatolik Roma sebenarnya pro-natalis. karena mendukung keluarga besar dan menolak cara-cara pembatasan kclahiran yang paling efisien. terkhusus negara china menerapkan model yang berbeda dalam penyelesai ini, yaitu mencanangkan sasaran "pertumbuhan penduduk" dalam kebijakan kependu69dukannya melalui beragam cara : mulai dari Halini yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan untuk mengurangi angka fertilitas di Indonesia guna menanggulangi permasalahan yang ditimbulkan. Kebijakan yang di ambil adalah mendorong agar berkurangnya angka fertilitas di Indonesia melalui kebijakan Anti Natalis. Kebanyakan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan trend . Apa itu kebijaksanaan pro natalis? kebijaksanaan pro natalis adalah kata yang memiliki artinya, silahkan ke tabel berikut untuk penjelasan apa arti makna dan maksudnya. Pengertian kebijaksanaan pro natalis adalah Subjek Definisi Keluarga Berencana KB ? kebijaksanaan pro natalis Kebijaksanaan pemerintah, masyarakat atau sekelompok masyarakat untuk mempercepat pertumbuhan penduduk dengan usaha menaikkan jumlah kelahiran Definisi ? Loading data ~~~~ 5 - 10 detik semoga dapat membantu walau kurangnya jawaban pengertian lengkap untuk menyatakan artinya. pada postingan di atas pengertian dari kata ā€œkebijaksanaan pro natalisā€ berasal dari beberapa sumber, bahasa, dan website di internet yang dapat anda lihat di bagian menu sumber. Istilah Umum Istilah pada bidang apa makna yang terkandung arti kata kebijaksanaan pro natalis artinya apaan sih? apa maksud perkataan kebijaksanaan pro natalis apa terjemahan dalam bahasa Indonesia Artikel ini membahas tentang bagaimana dua negara Teluk Arab, yaitu Arab Saudi dan Uni Emirat Arab UEA, menerapkan kebijakan kepada para pekerja asing. Arab Saudi dan UEA memiliki peraturan yang sama untuk membatasi pekerja asing yaitu Nitaqat untuk Arab Saudi dan Tawteen untuk Uni Emirat Arab. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan perbedaan antara dua kebijakan yang telah menjadi kebijakan negara skala nasional itu. Dalam menganalisisnya, penulis menggunakan teori perbandingan politik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Arab Saudi dan UEA memiliki alasan yang sama mengapa mereka menerapkan kebijakan untuk membatasi pekerja asing. Pembatasan tenaga kerja asing adalah fenomena regional di negara-negara Gulf Cooperation Council GCC karena mereka memulai pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan pentingnya sektor tenaga kerja yang diperuntukkan bagi warga negara. Selain itu, kedua negara memiliki pengalaman yang berbeda dalam proses pengusulan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah dan sektor industri. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 160 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 161Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019160 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 161Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabPerbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabSaī€Ÿra Novia Saī€Ÿtry dan Agus HaryantoProgram Studi Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirmane-mail article discusses how two Arab Gulf countries, namely Saudi Arabia and the United Arab Emirates UAE, implemented policies for foreign workers. Saudi Arabia and the UAE have the same regulations to limit foreign workers namely Nitaqat for Saudi Arabia and Tawteen for the United Arab Emirates. The purpose of this article is to explain the diī€Ÿerence between the two policies which have become national-scale state policies. In analyzing it, the writer uses political comparison theory. The results of this study indicate that Saudi Arabia and the UAE have the same reason why they implement policies to restrict foreign workers. The limitation of foreign workers is a regional phenomenon of the Gulf Cooperation Council GCC countries because these countries have started a sustainable development and paid attention to the importance of the labor sector which is reserved for citizens. In addition, the two countries have diī€Ÿerent experiences in the process of proposing policies related to the interests of the government and the industrial Gulf Cooperation Council, Nitaqat, Saudi Arabia, Tawteen, United Arab EmiratesAbstrak Artikel ini membahas tentang bagaimana dua negara Teluk Arab, yaitu Arab Saudi dan Uni Emirat Arab UEA, menerapkan kebijakan kepada para pekerja asing. Arab Saudi dan UEA memiliki peraturan yang sama untuk membatasi pekerja asing yaitu Nitaqat untuk Arab Saudi dan Tawteen untuk Uni Emirat 160 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 161Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019160 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 161Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabArab. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan perbedaan antara dua kebijakan yang telah menjadi kebijakan negara skala nasional itu. Dalam menganalisisnya, penulis menggunakan teori perbandingan politik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Arab Saudi dan UEA memiliki alasan yang sama mengapa mereka menerapkan kebijakan untuk membatasi pekerja asing. Pembatasan tenaga kerja asing adalah fenomena regional di negara-negara Gulf Cooperation Council GCC karena mereka memulai pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan pentingnya sektor tenaga kerja yang diperuntukkan bagi warga negara. Selain itu, kedua negara memiliki pengalaman yang berbeda dalam proses pengusulan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah dan sektor Kunci Arab Saudi, Gulf Cooperation Council, Nitaqat, Tawteen, UEAPendahuluanBerdasarkan besarnya pengaruh ketenagakerjaan bagi negara, bidang ketenagakerjaan melalui pekerja asing mendapat perhatian tersendiri dalam studi hubungan internasional. Secara khusus, isu ketenagakerjaan berhubungan dengan regulasi migrasi dan ketenagakerjaan, baik dari negara pengirim atau negara penerima pekerja asing tersebut. Secara umum, pintu masuk para pekerja asing ini dapat melalui pemerintah, perusahaan, atau lembaga yang menaungi urusan penyaluran tenaga kerja. Masuknya sektor industri seperti perusahaan perminyakan ke negara-negara di daerah gurun seperti Arab Saudi, mendorong datangnya pekerja asing untuk dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Meskipun termasuk sebagai salah satu negara yang tidak pernah mendapat pengaruh kolonialisasi dari negara manapun secara langsung, Arab Saudi mulai menjalankan strategi pembangunan negara dengan membuka diri terhadap perusahaan asing dengan secara gencar, di mana salah satunya dengan mengutamakan komoditas perminyakan sebagai nilai jual dan cikal bakal penyokong sumber dana terbesar bagi Arab Saudi. Secara spesiī€Ÿk, situasi ini sudah dimulai sejak tahun 1930 Simmons, 2005.Arab Saudi tercatat sebagai negara penghasil minyak bumi nomor satu di dunia CIA, 2018, di mana tambang minyak sebagai tulang punggung pendapatan Arab Saudi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat negara perlu 162 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 163Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019162 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 163Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmendatangkan tenaga kerja profesional dari negara lain untuk dipekerjakan Al-Asmari, 2014. Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, Arab Saudi menyadari situasi ini akan menjadi persoalan di masa depan, yakni semakin terpinggirkannya pekerja nasional. Oleh karena itu, Kerajaan Arab Saudi melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial, pada tahun 2011 mengeluarkan salah satu wujud dari Saudisasi atau nasionalisasi Saudi dalam wujud sebuah program yang bernama Nitaqat Alshanbri, 2014.Selain Arab Saudi, Uni Emirat Arab UEA juga berhadapan dengan persoalan ketenagakerjaan yang sama, sehingga mereka ikut mengambil kebijakan pembatasan tenaga kerja asing. UEA mengeluarkan mandat yang mengharuskan perusahaan atau instansi untuk mengangkat penduduk lokal Emirat sebagai pekerjanya dalam bentuk kebijakan bernama Emiratisasi atau Tawteen . Hal ini dilakukan dengan tujuan menurunkan angka pengangguran penduduk lokal yang selalu menjadi beban negara karena semakin terlena akan terbebasnya dari kewajiban membayar pajak dengan riwayat hidup tanpa pekerjaan atau menganggur. Emiratisasi juga bertujuan untuk mengkampanyekan kebijakan yang berorientasi pada pembangunan dengan menambah dukungan terhadap kegiatan produksi 2019. Tulisan ini bermaksud menjelaskan fenomena sistem ketenagakerjaan di Timur Tengah, terutama di Arab dan Uni Emirat Arab, serta perbandingan kebijakan ketenagakerjaan di kedua negara. Untuk menjelaskan hal ini, penulis menggunakan teori perbandingan politik. Sementara metode penelitian yang diambil adalah metode kualitatif. Penulisan artikel ini dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu pendahuluan, pemaparan mengenai teori perbandingan politik, sejarah pekerja asing di Timur Tengah, faktor tuntutan dari GCC, kebijakan ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, serta Perbandingan PolitikPerbandingan Politik atau komparatif politik adalah sebuah studi yang membandingkan politik lintas negara dengan melihat aspek-aspek mana saja yang disorot dan menjadi kebutuhan sebagai pembandingan ini. Dari melakukan perbandingan juga dapat diperoleh persamaan-persamaan serta perbedaan-perbedaan dari suatu objek yang dikaji dengan objek lainnya. Tujuannya adalah untuk dapat mengetahui persamaan, perbedaan, kelebihan, dan kekurangan yang dimiliki dari objek-objek yang diteliti. Aspek politik yang dapat dipergunakan 162 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 163Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019162 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 163Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmeliputi persoalan sistem pemerintahan, kebijakan publik, serta struktur yang meliputi struktur negara, elite, dan kelompok yang akan dibahas nantinya adalah tentang kebijakan yang mengatur persoalan ketenagakerjaan yang ada di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua negara tersebut termasuk ke dalam kebijakan publik, yang mana kebijakan publik berarti dirancang untuk mencapai tujuan khusus dan membuahkan hasil-hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan yang ada di badan birokrasi. Kebijakan publik dianggap penting, karena dimaksudkan untuk memecahkan masalah umum atau setidaknya untuk memperbaiki masalah tersebut yang dapat berupa kebijakan yang menyangkut hal-hal kecil bagi kehidupan bermasyarakat, namun juga meliputi kebijakan berskala besar Newton & Deth, 2016.Sejarah Pekerja Asing di Timur TengahSebagai negara-negara penghasil minyak, negara-negara di Timur Tengah menjadi tujuan utama bagi para profesional yang bekerja di sektor tambang. Kedatangan tenaga kerja asing ke Arab Saudi pun awalnya ditandai kehadiran ekspatriat minyak, yang kemudian mendorong jumlah warga negara asing mengalami peningkatan. Data menunjukkan bahwa adanya kedatangan migran yang secara masif ke Arab Saudi dengan peningkatan sekitar 27% dari jumlah total populasi negara yang saat itu masih berada di angka 13 juta penduduk dalam rentang waktu 1991-1992 Bel-Air b, 2018. Sementara itu, kondisi di negara-negara sekitar UEA pada masa itu tengah mengalami konī€žik dalam negeri dari gejolak masyarakat karena dipicu oleh krisis minyak. Namun efek dari krisis minyak tidak membawa pengaruh buruk secara masif, seperti kekisruhan di dalam negeri, karena UEA baru dijadikan negara independen oleh pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1971. Dengan demikian, UEA masih lebih stabil dari segi ekonomi politik jika dibandingkan negara-negara sekitarnya. Pada tahun-tahun awal pembangunan di tahun 70-an, UEA sangat bergantung kepada tenaga kerja asing agar mereka dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan standar hidup di dalam negeri. Lalu diperkenalkanlah program pekerja tamu sementara yang bertajuk Kafala Sponsorship System. Dalam program ini diatur bagaimana kesempatan bagi warga negara, ekspaktriat, dan perusahaan untuk mempekerjakan pekerja asing Malit Jr & Al Youha, 2013. 164 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 165Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019164 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 165Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabProgram tersebut membantu berbagai perusahaan untuk memenuhi kebutuhan mereka atas tenaga kerja yang mampu mengisi lapangan pekerjaan yang tersedia sesuai dengan standar yang mereka tetapkan. Namun di saat yang sama, program tersebut mendorong tajamnya peningkatan perbedaan proporsi antara pekerja Emirat dan pekerja asing. Angka pertumbuhan migran di UEA adalah sebesar 14,5% dari jumlah total populasi jumlah penduduk UEA tahun 2017 adalah sekitar 9,4 juta jiwa. Menurut data National Bureau of Statistics / Federal Competitiveness and Stastistics Authority 2014, bahkan sensus pertama yang diadakan pada tahun 1975 sudah menunjukkan bahwa warga negara asing telah mendominasi populasi di UEA dengan persentase 63,9% Bel-Air a, 2018. Dengan demikian, UEA sudah sejak awal berdirinya telah didominasi oleh warga negara asing yang secara terbuka dan berdasarkan kebutuhan diterima oleh pemerintah kebijakan Nitaqat di Saudi untuk menurunkan angka pekerja asing telah membuat negara-negara penghasil minyak yang berada di kawasan Teluk menjadi tertarik untuk membuat kebijakan serupa guna mencapai kepentingan negara yang tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki Arab Saudi terhadap urusan ketenagakerjaannya Peck, 2017. Keseluruhan persoalan ketenagakerjaan yang dihadapi oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membuat kedua negara harus mampu membuat kebijakan yang mempertimbangkan kepentingan sektor individu dan perusahaan yang merupakan objek dari kebijakan ini. Harapannya, kebijakan tersebut dapat berselaras dengan kepentingan yang dimiliki negara untuk menstabilkan perekonomian mereka. Dalam kerangka GCC Gulf Cooperation Council, yaitu organisasi regional yang mencakupi negara-negara di Teluk Arab, yakni Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab, telah disepakati kebijakan kuota pekerja. Kebijakan tersebut berbentuk pengurangan jumlah tenaga kerja asing yang tersebar di negara-negara GCC agar dapat digantikan oleh pekerja pribumi atau warga negara asli Forstenlechner, et al., 2011 1.Tahapan Kebijakan Pekerja Migran di Negara-Negara Teluk GCC Pesatnya proyek-proyek pembangunan seiring dengan ditemukannya minyak di negara-negara Teluk GCC pada tahun 1973 membuat permintaan tenaga kerja pun meningkat sangat cepat, baik tenaga kerja yang terampil maupun unskilled labor, yang tidak dapat dipasok sepenuhnya dari dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh minimnya tenaga kerja dari penduduk asli karena tidak adanya lembaga pendidikan dan pelatihan yang modern. Pada tahun 1975, total tenaga kerja nasional dari enam negara Teluk penghasil minyak hanya berjumlah 1,36 juta orang. Oleh karena 164 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 165Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019164 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 165Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabitu, untuk menghadapi dua keterbatasan dasar ini, kebijakan yang diadopsi oleh negara-negara Teluk adalah membuka pintu bagi tenaga kerja asing. Namun negara-negara itu juga menerapkan kebijakan jangka panjang yang terdiri dari dua elemen dasar, yaitu implementasi kebijakan pro-natalis yang ekstrem untuk meningkatkan angka kelahiran dan investasi besar di bidang pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dari kebijakan jangka pendek itu, selama masa berlimpahnya produksi minyak 1973-1982, jumlah tenaga kerja asing di negara-negara Teluk meningkat pesat, mencapai 4,4 juta pada tahun 1985. Ketika era oil boom berakhir dan ada penurunan tajam dalam pendapatan minyak pun jumlah tenaga kerja asing terus meningkat, meskipun dengan laju yang lebih lambat dibandingkan sebelumnya. Pada tahun 1985, tenaga kerja asing di negara-negara GCC berjumlah 4,4 juta dan mencapai 5,2 juta pada pertengahan 1990, sementara jumlah orang asing secara keseluruhan berjumlah 9,4 juta orang Focus Migration, 2012 3.Sementara itu, kebijakan pro-natalitas ternyata tidak berhasil mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Kebijakan pro-natalitas adalah kebijakan untuk meningkatkan jumlah kelahiran anak sehingga penduduk pribumi meningkat. Kebijakan ini diterapkan melalui beberapa program, di antaranya mendorong pernikahan dini dengan memberikan dana pernikahan, subsidi pendidikan, tunjangan anak, serta penyediaan fasilitas perumahan. Program ini didasari target meningkatkan jumlah sumber daya manusia yang tersedia di suatu negara dengan mendorong reproduksi dan populasi pertumbuhan, agar negara tepat sasaran dalam upaya meningkatkan eī€Ÿsiensi warga negara usia pekerjanya untuk turut memajukan peradaban negara. Sejak pertengahan 1990-an, Oman dan Arab Saudi telah mulai menghentikan kebijakan pro-natalis ini, namun pada praktiknya berbagai subsidi itu tetap diberikan. Meskipun demikian, angka kelahiran terus menurun. Bahkan di negara yang tetap memberlakukan kebijakan pro-natalis seperti Qatar dan Kuwait, tingkat kelahiran menurun menjadi sekitar 3,5 anak per wanita dibandingkan dengan 6 hingga 8 anak di tahun 1970-an dan awal 1980-an. Penurunan ini terutama disebabkan oleh meningkatkan taraf pendidikan wanita Focus Migration, 20123. Akhirnya pada tahun 1990, negara-negara GCC mulai menyadari bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia di sektor publik tidak dapat menyerap tenaga kerja mereka secara optimal. Pada masa itu, tingkat pengangguran di kalangan penduduk pribumi di masing-masing negara GCC mencapai lebih dari 10%. Ketidakmampuan negara-negara ini disorot dari fakta perihal kebijakan-kebijakan dari GCC yang banyak berfokus pada upaya meningkatkan kemampuan kelompok pencari kerja 166 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 167Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019166 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 167Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabini untuk menjadikan sektor swasta sebagai pilihan dalam memasuki jenjang karir Forstenlechner, Madi, Selim, & Rutledge, 20111. Kebijakan nasionalisasi angkatan kerja tradisional GCC sukses di sektor publik, namun hampir sepenuhnya gagal di sektor swasta terutama karena untuk kesenjangan gaji yang lebar antara warga negara dan pekerja asing; serta penentangan dari pengusaha-pengusaha asing dalam mempekerjakan warga pribumi karena mereka lebih memilih pekerja asing Focus Migration, 2012 4. Selain itu, fenomena Arab Spring juga menjadi salah satu pendorong berubahnya kebijakan ketenagakerjaan. Arab Spring adalah gelombang aksi-aksi demo rakyat di berbagai negara Arab memprotes kondisi ekonomi mereka. Salah satu hal yang diserukan dalam Arab Spring adalah tentang perbaikan ekonomi dengan cara melepaskan diri dari ketergantungan kepada minyak dan beralih kepada penguatan ekonomi lokal dengan mendorong rakyatnya untuk bekerja pada sektor Arab Spring dimulai di Tunisia pada 2011, dan kemudian menyebar ke negara-negara GCC, terutama ke Bahrain dan Oman. Hal ini membuat pemerintah negara-negara GCC menghentikan kebijakan nasionalisasi dan sebagai gantinya, mereka berkonsentrasi mengurangi pengangguran kaum muda yang berpendidikan dan meningkatkan taraf hidup warga negara, apa pun implikasi jangka panjangnya terhadap pasar tenaga kerja. Pada 18 Maret 2011, Raja Abdullah dari Arab Saudi mengumumkan implementasi reformasi sosial ekonomi baru yang terutama mencakup pembayaran langsung gaji dua bulan kepada semua pegawai pemerintah sebagai kompensasi untuk kenaikan biaya hidup; pembayaran bulanan sebesar Riyal Saudi sebagai tunjangan pengangguran; menetapkan upah minimum sebesar Riyal Saudi untuk semua pegawai pemerintah; dan menambah posisi di Kementerian Dalam Negeri. Namun, akibatnya, hal ini membuat menurunnya upaya warga negara untuk mencari pekerjaan di sektor Kerajaan Oman juga mengambil kebijakan serupa, antara lain menaikkan upah minimum dari $ 364 menjadi $ 520 untuk karyawan sektor publik. Empat negara GCC lainnya juga mengambil langkah serupa, yaitu meningkatkan standar hidup, meningkatkan upah sektor publik dan mengurangi pengangguran di kalangan pemuda melalui penyerapan besar-besaran ke sektor publik. Focus Migration, 2012 10.Harga minyak dunia yang mengalami titik rendahnya pada pertengahan 2014 membuat GCC berfokus pada upaya diversiī€Ÿkasi ekonomi atau usaha untuk menghindari ketergantungan pada ketunggalan perekonomian dengan 166 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 167Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019166 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 167Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmemaksimalkan sektor industri yang mendayagunakan kemampuan sumber daya manusia SDM yang terdapat di perusahaan. Antara lain yang mereka lakukan di tahap awal adalah melakukan promosi atas sektor swasta sebagai penghasil pendapatan pajak dan lapangan kerja, khususnya untuk menerima dan mendorong agar warga negara mereka memasuki pasar kerja. Selain itu, pusat ekonomi dialihkan dari sektor minyak sebagai upaya mitigasi atas rentannya harga minyak yang semakin tidak menentu serta dominannya negara di luar GCC seperti Irak, Libya, Kongo, dan Papua Nugini yang turut meramaikan bursa penjualan minyak dunia Stevens, 20162. Dengan demikian, usaha-usaha untuk melakukan diversiī€Ÿkasi ekonomi semakin memperkuat gagasan untuk memberlakukan usaha pembagian kuota pekerja terhadap lapangan pekerjaan di dalam negeri yang sebenarnya telah mereka inisiasi 24 tahun sebelumnya. Negara-negara GCC berupaya mengarahkan warga negaranya untuk bekerja di sektor swasta dan masing-masing negara kemudian mengeluarkan agenda nasional dengan tajuk vision yang mencakup peralihan ketergantungan negara-negara di Teluk Arab akan sumber daya minyak. Dengan demikian, banyak pemerintah GCC berusaha untuk mempromosikan reformasi ekonomi, dengan penekanan khusus pada perlunya privatisasi yang luas. Misalnya, Arab Saudi pada bulan April 2016 telah meluncurkan Program Transformasi Nasional NTP sebagai bagian dari kerangka implementasi untuk Visi 2030. Kuwait berencana meningkatkan partisipasi sektor swasta hingga 40-50 persen dalam usaha patungan publik-swasta, antara lain di sektor bandara, pelabuhan, pembangkit listrik dan bagian-bagian Kuwait Petroleum. Penguasa Qatar dilaporkan melakukan eī€Ÿsiensi anggaran pada 2016 yang dimaksudkan untuk fokus penghematan dalam pengeluaran pemerintah dan untuk mempromosikan pertumbuhan di sektor non-minyak Stevens, 2016. Negara-negara GCC juga mengharuskan sektor swasta di dalam negari untuk merekrut warga negaranya dengan kuota yang berbeda-beda, dilihat dari kebijakan negara yang menaunginya. Adapun Arab Saudi melalui Nitaqat dan Uni Emirat Arab dengan Tawteen adalah contoh dua negara yang menerapkan kebijakan terhadap lapangan pekerjaan. GCC juga mengeluarkan kebijakan ketenagakerjaan dengan menghomogenkan sektor swasta di dalam negeri agar terciptanya peluang kerja yang lebih luas dan berkelanjutan. Dalam hal ini, UEA turut serta dalam menerapkannya di internal negara dengan tiga prinsip utama, yaitu; pertama, prinsip diversiī€Ÿkasi sebagai tujuan jangka panjang dalam upaya untuk menjauh dari ketergantungan yang berlebihan pada sektor padat modal. Kedua, merombak sistem pendidikan dan lebih menyelaraskan 168 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 169Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019168 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 169Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabdengan bekal keterampilan individu yang mengacu kepada kebutuhan pasar pekerja. Ketiga, melakukan intervensi terhadap pasar, seperti menetapkan kuota dan alokasi jenis pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh warga lokal Forstenlechner, Madi, Selim, & Rutledge, 2011 4. Arab Saudi menetapkan program yang disebut Vision 2030 yang isinya menetapkan tujuan transformasi ekonomi Arab Saudi yang mendiversiī€Ÿkasi pertumbuhan, mengurangi ketergantungan pada minyak, meningkatkan peran sektor swasta, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi warga negara. Di antara program yang dilakukan adalah meningkatkan sektor swasta dalam ekonomi, privatisasi, reformasi, menarik investasi asing, dan mendorong pengembangan pasar modal Stevens, 2016. Agenda tersebut dirilis pada April 2016 dengan tujuan untuk mereformasi Saudi secara fundamental dengan berorientasi kepada upaya meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat Saudi itu sendiri. Vision 2030 merupakan cetak biru ekonomi yang berupaya untuk mengubah negara menerapkan ekonomi produktif yang berbasis kepada industri agar dapat mengurangi ketergantungan Arab Saudi terhadap sumber daya minyaknya. Gagasan asli dari Vision 2030 berasal dari dokumen tahun 2015, Arab Saudi Beyond Oil yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan konsultan bisnis. Isi dari dokumen tersebut adalah laporan mengenai jebakan ketergantungan Arab Saudi akan sumber daya minyak mereka, serta langkah preventif apa yang mereka butuhkan untuk membangun ekonomi yang berkelanjutan Nuruzzaman, 2018 1-2. Pada intinya, Vision 2030 berisi tentang tuntutan-tuntutan ekonomi dan pembangunan yang diajukan kepada Kerajaan Arab Saudi oleh warga negara, kelompok regional GCC, serta kelompok kepentingan yang melihat ketergantungan minyak akan menyebabkan terpuruknya Arab Saudi di masa yang akan dengan Arab Saudi, Uni Emirat Arab pula memiliki agenda nasional jangka panjang yang tertulis dalam program Vision 2021. Agenda ini dirilis pada tahun 2010 di tingkat negara federal sebagai upaya preventif dalam menghadapi krisis akibat menurunnya keuntungan negara atas pendapatan sektor minyak Moshashai, 2018 5.Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi Arab Saudi melakukan upaya peningkatan tenaga kerja lokal yang tidak hanya dirancang untuk mengatasi urusan pengangguran endemik, namun sesungguhnya untuk menjadi langkah preventif dari segi politik dan ekonomi. Tuntutan untuk 168 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 169Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019168 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 169Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmengurusi sektor ketenagakerjaan di Arab Saudi secara lebih terfokus justru bersumber dari kesadaran pemerintah atas kebutuhan mereka untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan, bukan karena adanya permintaan warga Saudi sendiri untuk dapat mengakses pekerjaan seluas-luasnya. Lapangan kerja di Arab Saudi sudah menerima pekerja dari luar negeri dengan jumlah perbandingan sekitar warga asing dan jumlah warga Saudi, menurut data World Bank pada tahun 1998 Randeree, 2012. Bangkitnya usaha perminyakan di tahun 2000 mendorong perekonomian di Arab Saudi meningkat dari 58,2 miliar dollar menjadi 63,1 miliar dollar Cordesman, 2003. Naiknya pendapatan negara dapat mendorong ekonomi bertumbuh dengan masif, membuat warga negara asing semakin berkeinginan untuk mencari kesejahteraan di Arab Saudi. Pertumbuhan pekerja asing tersebut membuat jumlah populasi meningkat sebesar 1 juta orang hanya dalam kurun dua tahun dari 1998 ke 2000, yakni masa ketika Saudi tengah mengalami pertumbuhan ekonomi. Menyikapi persoalan meningkatnya populasi pekerja asing tersebut, pemerintah mencoba menekannya dengan memberikan peraturan berupa range untuk pembagian kuota pekerja di dalam suatu instansi di antara pekerja asing dan pekerja lokal. Hal ini termasuk dalam misi negara untuk mengganti pekerja asing menjadi pekerja Saudi. Saudi juga semakin memperketat pengurusan dokumen bagi imigran, bahkan turut melakukan pengecekan atas dokumen dari imigran yang ada di dalam negeri. Lalu bagi yang melanggar keabsahan dokumen yang imigran miliki, mereka akan dideportasi ke negaranya kembali Wynbrandt, 2014.Kebijakan pengetatan aturan ini kemudian berkembang menjadi kebijakan ketenagakerjaan bernama Nitaqat di tahun 2011. Lalu timbullah permasalahan akibat reaksi perusahaan-perusahaan yang keberatan atas kebijakan ini. Perusahaan-perusahaan itu merasa dirugikan karena mereka harus merekrut warga Saudi sesuai ketetapan pemerintah. Keberatan tersebut antara lain dikarenakan banyak pekerja Saudi yang tidak punya kompetensi, keahlian individu yang belum dapat memenuhi kebutuhan perusahaan, atau kurangnya tanggung jawab para pekerja lokal dikarenakan mereka merasa aman dengan adanya subsidi negara apabila mereka kembali menganggur. Menyikapi tuntutan dari perusahaan sebagai kritik atas kebijakan ketenagakerjaan yang pada awalnya untuk menyelamatkan pekerja Saudi ini, pihak kerajaan pada akhirnya membuat Nitaqat dengan menyertakan berbagai range guna dapat mengklasiī€Ÿkasikan perusahaan berdasarkan jumlah perbandingan 170 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 171Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019170 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 171Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabpekerja asing dan lokal yang mereka miliki. Aturan ini disertai dengan keuntungan yang mereka akan dapatkan apabila perusahaan berkenan untuk merekrut pekerja Saudi sesuai dengan ketentuan yang ada, yaitu perusahaan juga dapat merekrut pekerja asing lebih leluasa, bergantung kepada di range mana perusahaan mereka berlabel Cordesman, 2003.Kebijakan Nitaqat memiliki tujuan yang sejalan dengan Vision 2030 yang menjadi pilar penting dalam program pembangunan yang dimiliki oleh pemerintah Arab Saudi. Kebijakan ini memberikan efek kombinasi kepada pekerja asing, yaitu menekan jumlah pekerja asing yang tersebar di sektor swasta sekaligus memberikan peluang bagi warga negara Saudi untuk mendapatkan pekerjaan Peck, 2017. Jika dilihat dengan cakupan yang besar, kebijakan ini memiliki tujuan di antaranya untuk meningkatkan kinerja pasar tenaga kerja, menyediakan lingkungan pekerjaan yang layak bagi warga negara, pengurangan lapangan kerja yang non-produktif untuk kemudian menargetkannya kepada warga Saudi dalam usia dan kondisi yang prima untuk bekerja, dan pengurangan ketergantungan terhadap pekerja asing Minister of Labor & Social Development. Kronologi kebijakan Nitaqat dimulai sejak tahun 1994 dengan dikeluarkannya Council of Ministers Decision No. 50 of 1994 on Saudisation yang berisi tentang rekomendasi bagi seluruh perusahaan yang berada di dalam wilayah Saudi Arabia untuk merekrut warga Saudi sebagai pekerjanya Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia a, 1994. Bahkan pada tahun tersebut sudah diatur kuota minimal sebesar 5% dari total pekerja yang ada untuk diisi oleh pekerja dari warga Saudi, meliputi segala bentuk usaha, aktivitas, maupun bidang dari perusahaan tersebut. Kebijakan kuota minimal inilah yang kemudian mengalami pengembangan secara lebih spesiī€Ÿk berpuluh tahun kemudian dalam range kebijakan Nitaqat. Seiring perkembangan zaman dan arus pekerja yang semakin meningkat setiap tahunnya, dalam Ministerial Decision No. 4040 yang dikeluarkan pada 10 September 2011 Saudi memberlakukan penggunaan Nitaqat Ministry of Labour of Kingdom of Saudi Arabia b, 2011. Kebijakan ini kemudian disusul oleh keputusan menteri pada tanggal 16 Oktober 2011 dalam Ministerial Decision No. 1/4687 berisi perintah yang diantaranya tiap perusahaan harus memiliki 1 tenaga kerja berkerwarganegaraan Arab Saudi per 9 tenaga kerja berkewarganegaraan asing. Kebijakan juga akan berlaku bagi perusahaan yang memiliki pegawai kurang dari 10 orang untuk setidaknya memiliki 1 orang pegawai Saudi. Selain itu, tiap pihak yang mempekerjakan baik pekerja asing maupun lokal diwajibkan untuk memberikan akses fasilitas dan asuransi 170 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 171Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019170 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 171Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabsebagai wujud dari pertanggungjawaban dari kewenangan yang diberikan oleh pihak kerajaan Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia c, 2011.Setahun setelahnya dikeluarkan kebijakan diferensiasi kelas bagi tiap perusahaan berdasarkan tingkat kemampuan mereka untuk menerima warga Saudi sebagai tenaga kerja di perusahaan bersangkutan dalam Ministerial Decision No. 1/5024 yang dikeluarkan pada 12 Oktober 2012. Hal ini menjadikan Nitaqat sebagai kebijakan yang menentukan apakah suatu perusahaan dapat menerima tenaga kerja asing baru dan apakah diperbolehkan bagi seorang warga negara asing untuk bekerja di perusahaan dengan melihat di kelas apa perusahaan itu berada. Jika sebuah perusahaan tidak mempekerjakan warga Saudi bahkan dengan jumlah minimal yang sudah ditentukan oleh pemerintah, perusahaan tersebut akan kesulitan dalam mengakses izin tinggal dan visa bagi pekerja asingnya, baik dalam urusan memperpanjang atau untuk merekrut pekerja asing yang baru Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia d, 2012. Kebijakan inilah yang nantinya akan menjadi pemantik diberlakukannya Nitaqat di dalam negeri. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Nitaqat merupakan kebijakan yang termasuk dalam skema atau kebijakan Saudisasi. Kebijakan ini memberikan efek kombinasi kepada pekerja asing, yaitu menekan jumlah pekerja asing yang tersebar di sektor swasta di suatu negara sekaligus memberikan peluang bagi warga negara Saudi untuk mendapatkan pekerjaan Peck, 2017. Adapun diferensiasi dalam Nitaqat adalah sebagai berikutTabel 1. Range NitaqatKelas Kuota Visa Rekrutmen IqamaPlatinum>40% pekerja SaudiProses visa tanpa batas waktuDapat merekrut pega-wai dari kelas Yellow/RedDapat memperbarui iqama, bahkan 3 bulan sebelum masa berlaku habisGreen>12% pekerja SaudiProses visa tiap 2 bulan sekaliDapat merekrut pega-wai dari kelas Yellow/RedDapat memperbarui iqama, bahkan 3 bulan sebelum masa berlaku habis 172 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 173Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019172 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 173Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabYellow>7% pekerja SaudiTidak dapat memproses visaTidak dapat merekrut dan menolak kepin-dahan pegawai dari kelas lainTidak dapat memperba-rui iqamaRed>4% pekerja SaudiTidak dapat memproses visaTidak dapat merekrut dan menolak kepin-dahan pegawai dari kelas lainTidak dapat memperba-rui iqama Sumber Saudi Expatriate 2017Terlihat di tabel, sistem Nitaqat mengklasiī€Ÿkasikan organisasi ke dalam 4 kategori, yaitu Platinum, Hijau, Kuning dan Merah tergantung pada ukuran entitas dan persentase warga negara Saudi untuk karyawan asing dalam tenaga kerja mereka. Pengusaha yang berbasis di Saudi dalam kategori Platinum dan Hijau mewakili rasio tertinggi warga negara Saudi, di mana Kuning dan Merah menunjukkan rasio terendah yang dipekerjakan oleh warga negara Saudi. Organisasi yang berada dalam kategori Platinum dan Hijau dapat mengambil manfaat dari perlakuan imigrasi yang menguntungkan seperti jadwal pemrosesan aplikasi yang lebih pendek untuk karyawan asing yang naik kapal ke perusahaan mereka 2017.Sebagai tingkatan teratas, platinum memiliki akses yang lebih besar dalam memproses visa tanpa harus menunggu jangka waktu. Perusahaan di kelas ini juga dapat memperbarui iqama, yakni izin kerja dan kartu tempat tinggal yang diperlukan agar seorang pekerja asing dapat bekerja dan tinggal di Arab Saudi. Pekerja asing yang telah memiliki iqama memiliki kesempatan untuk dipekerjakan oleh perusahaan yang telah diakui kelasnya dalam Nitaqat, dalam jangka waktu tertentu. Durasi izin kerja bagi tiap individu pun beragam karena mengacu kepada keputusan dari pemerintah langsung. Namun pada umumnya validitas izin kerja dikeluarkan untuk durasi satu tahun, sementara untuk perpanjangan durasi dapat dilakukan pembaruan sesudahnya velocityglobal, 2018.Sejak 3 September 2017, Arab Saudi memberlakukan aturan agar semua perusahaan yang sedang mempertimbangkan untuk memperluas operasi atau tenaga kerja mereka di Arab Saudi disarankan untuk meninjau kembali kategori Nitaqat mereka dan mengevaluasi perencanaan tenaga kerja mereka agar selaras dengan dorongan Saudisasi. Semua pengusaha tersebut disarankan untuk 172 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 173Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019172 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 173Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab1. Meninjau proses SDM internal, untuk memastikan bahwa prosedur rekrutmen dan imigrasi mereka memungkinkan pelaksanaan reformasi Nitaqat ini dengan Merancang dan mengimplementasikan program magang dan pelatihan untuk kaum pribumi Saudi dalam rangka memenuhi program training wajib yang disebut Saiī€ž.3. Menerapkan prosedur perencanaan tenaga kerja untuk memastikan kebutuhan tenaga kerja organisasi selaras dengan tujuan nasionalisasi Merancang strategi organisasi untuk menarik dan mempertahankan warga negara Menerapkan proses pemeriksaan kesehatan untuk memastikan kesiapan pekerja dalam memenuhi peraturan pasar tenaga kerja Meninjau struktur penugasan dan memastikan rencana sumber daya dibuat untuk memenuhi strategi keseluruhan Meninjau semua posisi penting untuk mengembangkan rencana suksesi untuk melatih penggantian tenaga kerja nasional pribumi dalam jangka menengah hingga Memperkuat proses pembinaan dan pengembangan untuk mendukung warga negara Mengembangkan kemitraan dan kolaborasi dengan universitas dan akademi pelatihan untuk memfasilitasi magang dan pelatihan 2017.Tabel 2. Perbandingan Kebijakan Ketenagakerjaan Arab Saudi dan Uni Emirat ArabNo Perbandingan Arab Saudi Uni Emirat Arab1 Nama Kebijakan Nitaqat Tawteen2 Tahun Berlaku 2011 20163 Sasaran Kebijakan Sektor privat dan pekerja Sektor privat dan pekerja4 Pembuat Kebijakan Kementerian Tena-ga Kerja dan Pem-bangunan Sosial Arab SaudiKementerian Sumber Daya Manusia dan Emiratisasi Sumber Alshanbri 2014, 2019 174 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 175Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019174 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 175Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabKebijakan Ketenagakerjaan di Uni Emirat ArabKebijakan Nitaqat yang diberlakukan Arab Saudi menginspirasi Uni Emirat Arab UEA untuk membuat kebijakan dengan tajuk Emiratisasi yang diperinci dalam kebijakan Tawteen. Kebijakan Tawteen lahir dari kondisi di UEA yang mendorong negara untuk melakukan inovasi agar dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi warga Emirat serta menjaga keberlangsungan pembangunan sesuai dengan kebutuhan Emirat. Kebijakan ini memiliki tujuan spesiī€Ÿk yang di antaranya mengatur urusan bisnis atau perburuhan, menyediakan layanan yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan pengguna sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, serta mengelola pasar bisnis dengan melayani dan mendukung hubungan kerja di tingkat internasional United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation b, 2018.Pengembangan ekonomi negara yang dilakukan UAE segera dimulai sejak mereka meraih kemerdekaan tahun 1971. UAE menyadari bahwa sesungguhnya negara memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan segera memperbaiki infrastruktur ekonomi-sosial yang justru lebih menyerap tenaga kerja asing daripada merekrut warga Emirat itu sendiri Halliday, 1977. Meningkatnya infrastruktur yang dimiliki UEA disusul oleh datangnya sektor swasta untuk beroperasi di dalam negeri. Namun pada saat itu negara masih tergolong ramah bisnis’, yang terealisasi dalam bentuk tidak adanya upah minimum, tidak ada serikat pekerja, dan pemberian wewenang dan kemudahan dalam merekrut dan memberhentikan pekerja Forstenlechner, Madi, Selim, & Rutledge, 20112. Atas dasar kondisi itu, sektor swasta menjadi lebih berminat untuk mempekerjakan warga negara asing karena mereka mau diupah murah oleh perusahaan. Hal ini membuat arus tenaga kerja asing yang masuk ke UEA kian meningkat, terutama setelah dibukanya akses pekerjaan dari program peningkatan infrastruktur dengan Arab Saudi yang sudah memulai langkahnya untuk kebijakan ketenagakerjaan pada pertengahan tahun 90-an, Uni Emirat Arab justru baru dapat memulainya pada tahun 2006 dengan mengeluarkan kebijakan yang mengatur ketenagakerjaan asing mereka dalam Ministerial Decision No. 286 dengan nama kebijakan Regarding the Balance of Nationalisation Quotas for Private Sector Establishments. Kebijakan yang ada masih berupa gagasan awal bagi kuota pekerja di sektor privat dengan mengharuskan perusahaan untuk menyelesaikan seluruh prosedur untuk legalisasi kelompok kerja sebagai prasyarat. Hal tersebut nantinya akan berguna bagi perusahaan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan untuk 174 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 175Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019174 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 175Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmenerima tenaga kerja asing sebagai pekerjanya. Kebijakan ini sudah mulai mengatur persoalan upah yang akan diterima pekerjanya dengan berdasarkan status pendidikan terakhir yang dimiliki oleh tiap individu. Bagi pekerja yang menempuh pendidikan terakhir lebih dari jenjang sekolah menengah atas dapat menerima upah dengan jumlah 5000 dirham atau sekitar 12 juta rupiah jika dikonversikan pada tahun yang sama. Disusul dengan 4000 dirham untuk pemegang ijazah sekolah menengah atas dan 3000 dirham untuk yang tidak memiliki ijazah di tingkat yang setara Ministry of Labour of United Arab Emirates a, 2006.Kebijakan Ministerial Decree 92 of 2006 yang berjudul Rules and Conditions for the Termination of Employment Relations memberikan keleluasaan bagi perusahaan yang telah mempekerjakan 100 pekerja atau lebih untuk mengganti pekerjanya tanpa melalui Work Permit Committees atau Komite Izin Kerja. Namun perusahaan hanya dapat mengganti individu dari pekerjanya dengan individu yang berkebangsaan, jenis kelamin, dan ranah profesi yang sama. Masih dengan kebijakan yang sama, kebijakan tertuju kepada perusahaan yang mempekerjakan 100 pekerja atau lebih serta mampu mematuhi ketentuan yang telah dibuat dalam pasal ini, maka mereka dapat mengajukan perizinan untuk menggantikan pekerja Ministry of Labour of United Arab Emirates b, 2006. Berbeda dengan dua kebijakan sebelumnya, Ministerial Resolution No. 1283 of 2010 dengan judul Regarding the Licensing and Regulation of Private Recruitment Agencies yang dikeluarkan pada 23 Desember 2010, justru lebih berfokus kepada penyalur tenaga kerja asing yang umumnya berbentuk lembaga atau biro jasa yang diperketat dengan mengharuskan mereka untuk mengantongi izin dari Pemerintah Emirat untuk beroperasi. Perusahaan kembali disorot dalam kebijakan ini untuk membayarkan upah pekerjanya melalui lembaga-lembaga penyalur pekerja mereka kepada individu pekerja yang bersangkutan. Kedua poin tersebut bertujuan untuk menciptakan biro jasa tersebut untuk menjadi jembatan antara individu yang menjadi pekerja dan perusahaan yang menaunginya Ministry of Labour of United Arab Emirates c, 2010.Selanjutnya, pada tahun 2015, Pemerintah Emirat di bawah Kementerian Sumber Daya Manusia dan Emiratisasi mengeluarkan tiga ministerial decree sebagai bentuk penyempurnaan dari kebijakan yang telah dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya sebelum disahkan pada tanggal yang berbeda di tahun 2016. Dimulai dari Ministerial Decree 764 of 2015 dalam judul Approved Standard Employment Contracts yang kemudian baru disahkan pada 27 September 2016. Isi dari kebijakan ini diantaranya untuk memperkenalkan standar perjanjian dasar pekerjaan yang nantinya akan diadopsi sebagai Standar Kontrak Kerja Standard Employment 176 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 177Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019176 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 177Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabContract. Perusahaan dapat menerima persetujuan sementara untuk menerima pekerja asing tidak dapat diberikan kesempatan kerja hingga Standar Kontrak Kerja ditandatangani oleh pekerja yang bersangkutan sebelum perusahaan atau instansi yang menaunginya dapat mulai mempekerjakannya Ministry of Labour of United Arab Emirates d, 2015.Selanjutnya dalam Ministerial Decree 765 of 2015 yang berjudul Rules and Conditions for the Termination of Employment Relations, berisi tentang amandemen dari ketentuan undang-undang ketenagakerjaan perihal pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan mengatur tentang bagaimana kedua pihak untuk mengakhiri kontrak dan kesepakatan rugi yang harus dibayarkan salah satu pihak mana yang lebih dulu mengakhiri periode kerja, dengan tujuan untuk melindungi kedua pihak dari lepasnya tanggungjawab salah satu pihak akan kontrak yang mengikat mereka dalam ranah dunia kerja. Apabila kemudian perusahaan ingin merekrut pekerja asing yang baru, perusahaan itu membutuhkan pengajuan izin kerja baru yang hanya akan dapat diterima bila memenuhi serangkaian ketentuan yang berlaku. Sebagai bentuk perlindungan terhadap kelompok pekerja, mereka diberikan kesempatan untuk mengajukan pengaduan pengadilan terhadap perusahaan terkait yang tidak dapat memberikan mereka pekerjaan sebagaimana mestinya dan hak atas upah akibat pailitnya perusahaan Ministry of Labour of United Arab Emirates e, 2015. Selanjutnya pemerintah UAE melakukan penyempurnaan pada kebijakan sebelumnya yang masih memiliki cakupan serupa namun dengan perluasan sasaran kebijakan. Dalam Ministerial Decree 766 of 2015 yang berjudul Rules and Conditions for Granting a Permit To a Worker for Employment by a New Employer, masih terdapat pembahasan yang berfokus kepada hak pekerja dalam menuntut perusahaan ke pengadilan, apabila mereka belum mendapatkan upah kurang dari dua bulan. Dikeluarkan pada tanggal 1 Januari 2016, kebijakan ini juga mencantumkan hal kontrak yang bersinggungan dengan durasi dan konsekuensi yang ditanggung salah satu pihak apabila jika ada yang menginisiasi pengurangan durasi kontrak kerja. Jika perusahaan yang melakukan pengurangan durasi, perusahaanlah yang harus menanggung kerugian yang dialami pekerja atas kondisi yang tidak sesuai kontrak, dan begitupun sebaliknya apabila pekerjanya yang memutus kontrak terlebih dahulu Ministry of Labour of United Arab Emirates f, 2015. 176 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 177Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019176 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 177Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabTabel 3. Range TawteenSumber Gulf News 2019; UAE Ministry of Human Resources & Emiratisation 2019Lain halnya dengan Nitaqat yang memulai persentase dari penduduk lokal untuk bekerja di sebuah perusahaan dengan angka lebih dari 40%, Tawteen justru memulainya dari angka 12%. Kelas platinum atau kelas teratas dari range Tawteen ini menempati kelas 1 yang disertakan dengan berbagai beneī€žt. Di antaranya, memungkinkan perusahaan untuk memulihkan pinjaman banknya saat memberikan asurasi kepada seluruh pegawai perusahaan, yang mana nantinya akan mempermudah perusahaan untuk mengolah aliran modal dan kebutuhan untuk membayar upah pekerjanya. Kelas ini dapat merekrut pegawai baru dengan membayar izin kerja seperti yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan dapat mengakses fasilitas red carpet. Namun sebenarnya, seluruh kelas bahkan termasuk kelas terendah yaitu red, juga dapat mengakses fasilitas red carpet. Fasilitas ini bertujuan untuk menjembatani perusahaan dengan Kementerian Sumber Daya Manusia dan Emiratisasi dalam urusan ketenagakerjaan. Adapun beneī€žt lainnya, Fast Kelas Kuota Izin Kerja Rekrutmen Red CarpetPlati-num>12% pekerja EmiratDapat mem-perbarui/ mengeluarkan izin kerjaDapat merekrut pegawai dengan membayar izin kerjaDapat mengakses fasil-itas red carpetGold >8% peker-ja EmiratDapat mem-perbarui/ mengeluarkan izin kerjaDapat merekrut pegawai dengan membayar izin kerja dengan tarif platinumDapat mengakses fasil-itas red carpetSilver >4% peker-ja EmiratDapat mem-perbarui/ mengeluarkan izin kerjaDapat merekrut pegawai dengan membayar izin kerja dengan tarif platinumDapat mengakses fasil-itas red carpetBronze 0% pekerja EmiratTidak dapat memproses visaTidak dapat men-gakses izin kerja yang baruDapat mengakses fasil-itas red carpet 178 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 179Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019178 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 179Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabTrade Service yang berprioritas terhadap perusahaan dalam memberikan pelayanan terkait ketenagakerjaan. Dalam prosesnya, kementerian akan menunjuk pihak ketiga untuk menjadi konsultan bisnis dan hukum bagi perusahaan United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation c, 2019. Hal yang menjadi pembeda di antara kelas-kelas yang tersedia adalah kemampuan perusahaan untuk merekrut pegawai dengan membayar izin kerja namun harus disetarakan tarifnya dengan kelas Platinum yang diketahui sebagai kelas teratas dalam Tawteen lahir dari keinginan pemerintah UEA untuk mendorong terbukanya lapangan pekerjaan bagi warga Emirat serta menjaga keberlangsungan pembangunan untuk tetap berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan Emirat. Adapun kebijakan ini pula memiliki tujuan spesiī€Ÿk yang di antaranya untuk mengatur urusan bisnis atau perburuhan, menyediakan layanan yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan pengguna sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, serta mengelola pasar bisnis dengan melayani dan mendukung hubungan kerja di tingkat internasional United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation b, 2018. Kebijakan ini bermuara kepada penciptaan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi warga Emirat agar tidak didominasi oleh pekerja asing dan menciptakan perekonomian yang melindungi pekerja lokal serta perusahaan atau instansi terkait, yang berkemauan untuk mempekerjakan warga negara asli dengan Arab Saudi yang tidak memiliki wilayah federal, UEA terbantu oleh peran negara-negara federalnya untuk bersinergi menjalankan kebijakan ketenagakerjaan. Wilayah di bawah kekuasaan UEA, seperti Abu Dhabi dan Dubai, memberikan bantuan akses pendidikan yang luas Abu Dhabi Government a. 2019. Kedua wilayah ini juga memiliki kebijakan ketenagakerjaan dari sektor pendidikan yang akan dapat memperkuat Uni Emirat Arab dalam menjalankan pembangunan berkelanjutan mereka. Permasalahan yang timbul di Uni Emirat Arab bukan mengenai kritik perusahaan atau pekerja atas kebijakan yang ada, melainkan kurangnya kualitas pendidikan dan partisipasi dari warga Emirat untuk memanfaatkan kebijakan Tawteen yang dirilis oleh pemerintah UEA. Sebagai contoh, sekitar 80% pelajar di UEA mengambil perkuliahan dengan jurusan yang berfokus kepada rumpun humaniora, sementara pembangunan di UEA berfokus kepada pengembangan rumpun sains sebagai peningkatan sektor teknik dan minyak mereka The Economist, 2013. Selain itu, tuntutan dari masyarakat Emirat untuk mendapatkan pekerjaan masih minim karena 178 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 179Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019178 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 179Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmereka sendiri merasa terpenuhi kebutuhannya oleh subsidi pemerintah, bahkan negara tidak menarik pajak dan memberikan dana bagi keberlangsungan hidup warga negaranya. Kehadiran partai politik di kedua negara ini juga tidak berperan besar, mengingat baik Arab Saudi maupun UEA adalah negara kerajaan yang tidak melegalkan peran partai politik dan partisipasinya, melainkan oleh kerajaan-kerajaan kecil maupun keluarga yang telah memiliki pengaruh kuat terhadap pemerintahan yang berlangsung 2018; 2019. KesimpulanKebijakan Nitaqat dan Tawteen merupakan dua kebijakan yang merupakan hasil dari keinginan negara-negara tersebut untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Kebijakan Nitaqat sejalan dengan Saudi Vision 2030 yang menjadi pilar penting dalam program pembangunan yang dimiliki oleh Pemerintah, yakni memberi peluang bagi warga negara Saudi untuk mendapatkan pekerjaan di dalam negeri. Sementara itu, kebijakan Tawteen lahir dari kondisi UEA yang mendorong negara untuk melakukan dalam rangka untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga Emirat dan menjaga keberlangsungan pembangunan sesuai dengan kebutuhan Emirat. Dalam praktiknya, kedua kebijakan ini memiliki perbedaan dalam implementasi dan mendapatkan reaksi yang beragam dari perusahaan-perusahaan yang ada di kedua PustakaAbu Dhabi Government a. 2019. Emiratisation Programmes and Initiatives in Abu Dhabi. [online] Dalam [Diakses 4 Sep 2019].Al-Asmari, 2008. Saudi labor Force Challenges and Ambitions. JKAU Arts & Humanities, 162, N. 2014. Nitaqat Program in Saudi Arabia. International Journal of Innovative Research in Advanced Engineering IJIRAE, 110, F. D a. 2018. Demography, Migration, and the Labour Market in the UAE Gulf Labour Markets and Migration [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019]. 180 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 181Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019180 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 181Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabBel-Air, F. D b. 2018. Demography, Migration, and the Labour Market in Saudi Arabia. Gulf Labour Markets and Migration [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019].Central Intelligence Agency CIA. 2018. The World Factbook. Country Comparison Crude Oil. [online] Dalam [Diakses 20 Februari 2019].Cordesman, 2003. Saudi Arabia Enters the 21st Century. California Greenwood Publishing 2017. Saudi Arabia revises Nitaqat system and introduces mandatory Saiī€ž program as part of its Saudization drive. [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019]. 2018. Governance & Politics of UAE. [online] Dalam [Diakses 14 Nov 2019]. 2019. Governance & Politics of Saudi Arabia. [online] Dalam [Diakses 14 Nov 2019].Focus Migration. 2012. The Gulf Cooperation Council States GCC. [online] Dalam [Diakses 21 Juni 2019].Forstenlechner, I., Madi, Selim, dan Rutledge, 2011. Emiratisation determining the factors that inī€žuence the recruitment decisions of employers in the UAE. The International Journal of Human Resource Management, 2019. Vision 2021 and Emiratisation. [online] Dalam [Diakses 17 April 2019].Gulf News. 2019. Work Permit Cost Cut for Some Companies, Says Ministry. [online]. Dalam [Diakses 25 September 2019]. 180 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 181Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019180 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 181Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabHalliday, F. 1977. Labor Migration in the Middle East Documents, Israeli Settlements. Middle East Research and Information Project Reports, 59, 1, 3– Jr, dan Al Youha, A. 2013. Labor Migration In The United Arab Emirates Challenges and Responses. Migration Policy, [online]. Dalam [Diakses 21 Okt 2019].Mas’oed, M., dan MacAndrews, C. 1991. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta Gadjah Mada University of Labor & Social Development. Uniī€Ÿed Guidelines of Nitaqat Program. Jetro, [online]. Dalam [Diakses 26 Sep 2019].Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia a. 1994. Council of Ministers Decision No. 50 of 1994 on Saudisation. [online]. Dalam [Diakses 16 Juli 2019].Ministry of Labour of Kingdom of Saudi Arabia b. 2011. Saudi Arabia Ministerial Decision No. 4040 adopting Nitaqat Program. [online]. Dalam [Diakses 15 Maret 2019].Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia c. 2011. Ministerial Decision No. 1/4687. [online]. Dalam [Diakses 16 Juli 2019].Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia d. 2012. Ministerial Decision No. 1/5024. [online]. Dalam [Diakses 16 Juli 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates a. 2006. Ministerial Decision No. 286 of 2006 Regarding the Balance of Nationalisation Quotas for Private Sector Establishments. [online]. Dalam [Diakses 17 Juli 2019]. 182 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 183Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019182 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 183Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabMinistry of Labour of United Arab Emirates b. 2006. Ministerial Decision No. 92 of 2006. [online]. Dalam [Diakses 17 Juli 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates c. 2010. Ministerial Resolution No. 1283 of 2010 Regarding the Licensing and Regulation of Private Recruitment Agencies. [online]. Dalam [Diakses 17 Juli 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates d. 2015. Minister of Labour’s decree 764 of 2015. [online]. Dalam [Diakses 27 Juni 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates e. 2015. Minister of Labour’s decree 765 of 2015. [online]. Dalam [Diakses 27 Juni 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates f. 2015. Minister of Labour’s decree 766 of 2015. [online]. Dalam [Diakses 27 Juni 2019].Momami, B. 2008. GCC Oil Exporters and the Future of Dollar. New Political Economy, 133, D. 2018. National Visions as Instrument of Soft-Power in the Gulf Region The Case of The UAE and its ā€œVision 2021ā€. Academia, [online]. Dalam [Diakses 23 Sep 2019].Newton, K., dan Deth, 2016. Perbandingan Sistem Politik. Bandung Penerbit Nusa M. 2018. Saudi Arabia’s Vision 2030’ Will It Save Or Sink the Middle East. E-International Relations, [online] Dalam [Diakses 15 Sep 2019].Peck, J. R. 2017. Can Hiring Quotas Work? The Eī€ect of the Nitaqat Program on the Saudi Private Sector. American Economic Journal Economic Policy, 92, 316-347. 182 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 183Pendekatan Negosiasi Konīƒžik dalam Resolusi Konīƒžik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019182 Saīƒ™ra Novia Saīƒ™try dan Agus Haryanto 183Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabRanderee, Kasim. 2012. Workforce Nationalizaion in the Gulf Cooperation Council States. Academia, [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019].Simmons, 2005. Twilight In The Desert The Coming Oil Saudi Shock and The World Economy. New Jersey John Wiley & Sons, P. 2016. Economic Reform in the GCC Privatization as a Panacea for Declining Oil Wealth?. Chathamhouse, [online] Dalam [Diakses 3 Sep 2019].Stevens, Paul. 2016. Economic Reform in the GCC Privatization as a Panacea for Declining Oil Wealth?. Chathamhouse, [online] Dalam [Diakses 3 Sep 2019].The Economist. 2013. Impediments to Emiratisation. [online] Dalam [Diakses 14 Nov 2019].UN DESA. 2017. International Migration Report 2017. [online] Dalam [Diakses 17 April 2019].United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation a. 2019. Tawteen Partners Club. [online]. Dalam [Diakses 25 September 2019].United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation b. 2018. About Us. [online] Dalam [Diakses 25 Sep 2019].United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation c. 2019. Tawteen Partners Club. [online] Dalam [Diakses 25 Sep 2019].Velocity Global. 2018. Iqama Basics What You Need to Know. [online] Dalam [Diakses 25 Sep 2019].Wynbrandt, J. 2014. A Brief History of Saudi Arabia. New York Infobase Publishing. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Malit, Jr Ali Al YouhaDrawing from policy reports and interviews with UAE policymakers, this article examines the economic, social, and political challenges and implications of the Kafala system for the UAE government, Emirati nationals, and migrant workers in the Arab Gulf's labour market is being overhauled. The private sector is increasingly being obliged’ to more actively support nationalisation programmes. This study seeks to quantitatively determine the recruitment decisions of the employers. We collated the views of just under 250 UAE-based HRM personnel, in order to identify which factors social, cultural, economic, regulatory, educational and motivational are most significant as cited in the relevant literature. Not having the necessary educational qualifications and high reservation wage demands were found to have less of a bearing than does the perceived lack of vocationally orientated motivation and the ambiguities over the differing rights afforded to R. PeckThis paper studies the effects of quota-based labor regulations on firms in the context of Saudi Arabia's Nitaqat program, which imposed quotas for Saudi hiring at private firms. I use a comprehensive firmlevel administrative dataset and exploit kinks in hiring incentives generated by the quotas to estimate the effects of this policy. I find that the program increased native employment at substantial cost to firms, as demonstrated by increasing exit rates and decreasing total employment at surviving firms. Firms without any Saudi employees at the onset of the program appear to bear most of these R. SimmonsSe analiza en esta obra las condiciones de exploración y producción petrolera de Arabia Saudita. Incluye un desarrollo histórico de este paĆ­s que emergió como un gigante en el desierto con sus campos petroleros y su impacto en la economĆ­a mundial por la demanda de petróleo, ya que es uno de los mayores productores con una producción de 20 a 25 millones de barriles diarios y se asume que asĆ­ serĆ” en dos dĆ©cadas mĆ”s. Con sus reservas petroleras este paĆ­s impacta la economĆ­a global al menos hasta el aƱo World Factbook. Country Comparison Crude OilCentral Intelligence Agency CIA. 2018. The World Factbook. Country Comparison Crude Oil. [online] Dalam [Diakses 20 Februari 2019].Saudi Arabia Enters the 21st CenturyA H CordesmanCordesman, 2003. Saudi Arabia Enters the 21st Century. California Greenwood Publishing & Politics of 2018. Governance & Politics of UAE. [online] Dalam united-arab-emirates/governance-and-politics-of-uae/ [Diakses 14 Nov 2019].Governance & Politics of Saudi 2019. Governance & Politics of Saudi Arabia. [online] Dalam https// [Diakses 14 Nov 2019]. Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan Indonesia telah melaksanakan beberapa kali sensus penduduk. Sejak Kemerdekaan, telah dilakukan enam kali sensus penduduk, yaitu sensus penduduk tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan terakhir tahun 2010. Sebelum Kemerdekaan, sebenarnya di Indonesia juga pernah dilakukan sensus, yaitu tahun 1920 dan 1930. Pada tahun 1920, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 34,3 juta jiwa dan tahun 1930 mencapai 60,7 juta. Berikut ini data hasil sensus penduduk di Indonesia dalam Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan. Dari data hasil sensus, diketahui bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dikatakan tinggi jika laju pertumbuhan penduduknya mencapai angka lebih dari 2% . Jika angka pertumbuhannya antara 1 dan 2 persen, laju pertumbuhan termasuk sedang. Jika angka pertumbuhan kurang dari satu persen, laju pertumbuhan termasuk rendah. Berdasarkan kriteria tersebut, pada sensus 2010, laju pertumbuhan penduduk Indonesia tergolong sedang. Sementara itu, negara-negara maju memiliki laju pertumbuhan penduduk yang rendah. Namun demikian, ada kecenderungan laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurun yang berarti sedang menuju ciri kependudukan negara maju pada umumnya dari Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan. Setelah melakukan kegiatan di atas, kamu dapat mengetahui bahwa laju pertumbuhan penduduk bervariasi antara satu negara dan negara lainnya. Negara tertentu angka pertumbuhannya tergolong tinggi, sementara yang lainnya tergolong rendah. Bahkan, ada beberapa negara yang angka pertumbuhan penduduknya negatif atau dibawah nol. Jika angka pertumbuhannya negatif, negara tersebut penduduknya tidak bertambah malah berkurang jumlahnya. Adanya perbedaan laju pertumbuhan penduduk antara satu negara dan negara lainnya menyebabkan setiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Sejumlah negara yang laju pertumbuhannya terlalu kecil atau bahkan negatif, berupaya menaikkan angka pertumbuhan penduduknya melalui sejumlah kebijakan yang bersifat pro-natalis. Kebijakan pro-natalis mendukung penduduknya untuk memiliki jumlah anak yang banyak. Contoh negara tersebut adalah Kuwait, Jepang, argentina, brazil, rusia, perancis, jerman, israel dan beberapa negara lainnya. Pada sisi lain, sejumlah negara berupaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduknya karena jumlahnya terlalu besar dan membebani perekonomian negara. Negara-negara tersebut menerapkan kebijakan yang anti-natalis. Kebijakan tersebut berupaya mengendalikan jumlah penduduk dengan beragam program. Contoh negara yang menerapkan kebijakan ini adalah China dengan kebijakan satu anak one child policy Negara lainnya yang menerapkan kebijakan tersebut adalah Indonesia, Nigeria, India, dan sejumlah negara lainnya dalam Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan. Program Keluarga Berencana KB mencerminkan kebijakan antinatalis di Indonesia. Program tersebut diharapkan mampu mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Jika laju pertumbuhan terkendali, diharapkan kualitas penduduknya akan makin baik. Negara juga tidak terlalu dibebani karena harus menyediakan lapangan kerja dan fasilitas hidup yang sangat banyak. dengan cara demikian, Indonesia diharapkan dapat lebih cepat menjadi negara maju. Baca Juga Contoh Dari Sebuah Negara Maju Di Dunia Tips Agar Upaya Indonesia Menjadi Negara Maju Karakteristik Negara Indonesia Menjadi Negara Maju di Dunia Demikian Artikel Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan Yang Saya Buat Semoga Bermanfaat Ya Mbloo Artikel Terkait Kontribusi Kerja Sama Bidang Sosial Budaya Bagi Bangsa Indonesia Sarana Dan Prasarana Transportasi Di Indonesia Pewarisan Budaya Cara Mengatasi Jati Diri Bangsa Tujuan Dan Prinsip Kerja Sama Bidang Politik Lembaga Kerja Sama Antarnegara Bidang Ekonomi America needs more what policymakers seem to have decided, from the White House to Capitol Hill. Congress spent November considering the Child Tax Credit, a measure that reduces the federal income taxes owed by families with kids. The Senate and the House both voted to raise the credit in their recent tax bills, which will soon be reconciled. Meanwhile, two Democratic senators, Michael Bennet and Sherrod Brown, proposed their own version of an increase. And led by Ivanka Trump, the Trump administration has been softly pushing a child-care tax deduction and federal paid-maternity-leave ReadingThese programs have been sold as ways to support struggling middle-class families, but they also address another issue declining birth rates. Government data suggests the has experienced drops in fertility across multiple measures in recent years. Even Hispanic Americans, who have had high fertility rates compared to other ethnic groups in recent decades, are starting to have fewer babies. Lyman Stone, an economist at the Department of Agriculture who blogs about fertility in his spare time, called this year’s downward fertility trend ā€œthe great baby bust of 2017.ā€These are the seeds of a nascent pro-natalist movement, a revived push to organize American public policy around childbearing. While putatively pro-family or pro-child policymaking has a long history in the the latest push has a new face. It’s more Gen X than Baby Boom. It’s pro-working mom. And it upends typical left-right political valences Measures like the Child Tax Credit find surprising bipartisan support in Congress. Over the last year or so, the window of possibility for pro-natalist policies has so, proponents of child-friendly policies, left and right, are deeply skeptical that the government will prove willing to put family at the center of its laws—or that the government can change current birth-rate trends. Ultimately, a shared cultural commitment to the importance of children is the factor that will determine America’s baby-making the developed world, birth rates are below replacement level, meaning women don’t have enough children to replenish the population. Pro-natalists argue that this will have devastating consequences. By contrast, they say, having kids has lots of upsides. ā€œPeople want it. Society needs it. We want the economy to grow,ā€ said Stone said in an least in Europe and the birth rates tend to lag behind what women desire. According to data reported by the Pew Research Center in 2014, 40 percent of American women approaching the end of their childbearing years say they have fewer kids than they had argument that having more kids is good for society is a little bit trickier. Some environmentalists argue that population control is key to protecting the earth’s resources. Others say a childless lifestyle might be preferable to the life of a parent. Some philosophers even argue that it’s immoral to have kids at say societal well-being—and democracy itself—depend on Americans’ willingness to procreate. ā€œIt’s not that common that love is a policy argument,ā€ Stone said. But ā€œthe most important part of human well-being is family.ā€ And ā€œthat’s not a subjective statement,ā€ he added. ā€œThat’s an objective oneā€ supported by public-health Last, The Weekly Standard’s digital editor and author of What to Expect When No One’s Expecting, takes a more somber view If people in authoritarian societies have more children than citizens of liberal democracies, ā€œover the long haul, those people inherit the earth,ā€ he said. The economics of a shrinking global population could lead to chaos and desperate political acts, he predicted ā€œIn the course of the next 50 or 100 years, you could wind up in a world that is unstable and unpleasant and illiberal.ā€The economic case for more babies is fairly straightforward More workers presumably yield more productivity. As Stone said, ā€œThere is no economy that has managed to knock out gangbuster growth with a declining population.ā€ And a wild imbalance between populations of the non-working elderly and strapping young people can wreak havoc ā€œAs governments raise taxes on a dwindling working-age population to cover the growing burdens of supporting the elderly,ā€ wrote the journalist Phillip Longman in a 2006 essay for Foreign Policy, ā€œyoung couples may conclude they are even less able to afford children than their parents were.ā€Stone tossed in a final reason for society to support baby-making ā€œThe history of humanity is long, and it rarely goes a century without a major war. You need warm bodies to fill the uniforms,ā€ he said. This isn’t the most common justification for pro-natalism, he admitted—it’s ā€œthe one that gets me teased the most.ā€Pro-natalism sometimes has dark undertones. Steve King, the Iowa Republican lawmaker, has spoken about the need to ā€œrestore our civilizationā€; in March, he tweeted support for the far-right Dutch politician Geert Wilders, who, King said, understood ā€œthat culture and demographics are our destinyā€ and can’t be restored ā€œwith somebody else’s babies.ā€ In fringe alt-right internet circles, a controversial Mormon blogger issued a ā€œwhite-baby challengeā€ to grow the white population in the Lovett, a historian at the University of Massachusetts Amherst, sees parallels between today’s worries around demographic change and the eugenics movement of the 1920s and ’30s. Fear about women going to college and not having as many children was coupled with an anti-immigrant anxiety, similar to what some on the right feel today, she said. Eugenicists promoted a ā€œfour-child normā€ among native-born, white members of the middle class, ā€œwhich really becomes the normative size of American families after the Second World War,ā€ she the most part, these populist voices on the right have not been leading the recent pro-natalist wave. Ross Douthat, a columnist at The New York Times, recently tweeted his frustration that pro-Trump politicians like King and the former White House adviser Steve Bannon don’t seem to care about policies like the Child Tax Credit. ā€œI want them to stop and think about why populist movements elsewhere in the West actually try to have a pro-family policy agenda to match their demographic worries,ā€ he wrote, ā€œwhile American right-populism still lets Wall Street write its economic policy.ā€His complaint gets at one of the central political problems facing pro-natalism It often sits in tension with ardently free-market conservatism. ā€œChamber of Commerce-type Republicans … don’t care at all about that stuff,ā€ said Last. ā€œThis is one of those real conflicts between what the market wants … and the things that society needs.ā€ If all someone cares about is free markets, he added, ā€œit’s very hard to find a way to effectively place value on things like the creation of new workers 30 years from now. It’s just too long-term.ā€Even though Congress will almost certainly raise the Child Tax Credit in its final overhaul bill, benefits to low- and middle-income families will likely end up limited, in part because of Republicans’ dislike of entitlement spending. The credit is currently structured as a tax reduction Families that pay federal income taxes get a discount for each kid they have. But for almost half of Americans—including low- and middle-income workers who don’t make enough to owe federal income taxes—the benefit is significantly less. For people who don’t work or make less than $3,000, it doesn’t apply at imbalance would be exacerbated by the House and Senate proposals. Currently, the Child Tax Credit for jointly filing married couples is capped at $110,000; for families who make more than that, it’s reduced. Both chambers’ plans raise that cap significantly; the Senate bill places the threshold at $500,000. Senators Marco Rubio of Florida and Mike Lee of Utah pushed to make the credit refundable against payroll taxes, which would make it more beneficial to working-class families. Their efforts got little traction and quietly failed as the Senate passed its bill late last week. Douthat called it ā€œa lonely battle for a pittance of a refundable tax credit for American families in the midst of a baby bust,ā€ which ā€œnobody in professional populist conservatism seems interested in making … a cause cĆ©lĆØbre.ā€There are a few exceptions, of course. Ivanka Trump has crisscrossed Capitol Hill advocating for her child-care policies and has spoken on these issues around the country, arguing that changing demographics and family structures warrant a tax-code overhaul. Child-friendly policies fit nicely with her personal brand—her latest book, Women Who Work, encourages women to reach the heights of both the professional world and maternal yet, Ivanka Trump’s rehabilitation of the working mom doesn’t seem quite right, said Elizabeth Ananat, an associate professor at Duke who is affiliated with its Center for Child and Family Policy. ā€œHer notion [is] that the working woman was a rundown, unglamorous service worker … and is now a curated, beautiful, successful, glamorous person,ā€ she said. ā€œIt’s a very aspirational image—which isn’t necessarily bad, to have glamour. But that is not the typical working mom.ā€ Ivanka’s policies on paid maternal leave and child care share a similarly miscalibrated view of the average family, Ananat argued Their structure means ā€œit would be a lot of money to each family like hers.ā€Debate about family-friendly policymaking is very much happening on conservative terms. Today’s policy proposals are a far cry from the 1970s, when a comprehensive child-care program almost became law, but was vetoed by President Nixon. Over the past four decades, policymaking has shifted away from government-provided services toward a model that privileges workers and work-based benefits, Lovett said. ā€œIt’s about determining that we’re not going to provide the services. We’re going to provide services only through employment.ā€Still, Ivanka Trump has managed to expand this conservative debate around child-centered policies. Paid leave ā€œhas not been completely within the conversation in a lot of Republican circles for quite a while,ā€ said Angela Rachidi, a research fellow at the American Enterprise Institute. ā€œEven today, had it not been for proposals around paid leave from the Trump campaign … I’m not sure necessarily there would be the same conversation that we’re having right now.ā€For all the debate over the Child Tax Credit and paid family leave, governments that have pursued such approaches before have had mixed success trying to boost fertility with cash. These policies may make it slightly easier to be a parent and help women stay in the labor force, but it’s not clear that they’ll lead to more babies. In reality, attitudes about family size are ā€œ80 percent culture, 90 percent culture,ā€ said Last. ā€œWhy do we spend all of our time talking about the policy end of it? You’re sitting at a control panel, and there are buttons for policy. There are no buttons for culture.ā€Recent television shows and movies like The Handmaid’s Tale and Children of Men show how powerfully massive birth-rate drops grip the popular imagination In both cases, biologically and environmentally driven infertility lead to political chaos. But in America’s case, the causes of infertility seem less biological than are so many possible explanations for why Americans are having fewer kids, said Last. For one, declining religiosity might mean fewer people feel drawn to have a bigger family. ā€œMy Mormon friends are all having kids. They’re doing fine,ā€ he said. ā€œIt’s my NPR-listening liberal friends who don’t have kids.ā€ Millennials hit hard by the recession might also lack the cash to support a child. People may have trouble finding long-term partners, or they may just think having a kid wouldn’t fit with their personal lives. This is what makes pro-natalism so tough It’s hard to think of a comprehensive solution to such a multi-faceted, diffuse that’s left for earnest demographers to do, perhaps, is evangelize. ā€œI tell people, You know, get married, make sure you love your partner,ā€™ā€ said Last. ā€œAnd then go have too much to drink and make bad decisions.ā€™ā€ Sensus penduduk merupakan penghitungan jumlah penduduk yang dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu tertentu, dilakukan secara serentak, dan bersifat menyeluruh dalam suatu batas negara. Sejak kemerdekaan Indonesia telah melaksanakan beberapa kali sensus penduduk yaitu sensus penduduk tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan terakhir tahun 2010. Sebelum Kemerdekaan, sebenarnya di Indonesia juga pernah dilakukan sensus, yaitu tahun 1920 dan 1930. Pada tahun 1920, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 34,3 juta jiwa dan tahun 1930 mencapai 60,7 juta. Berikut ini data hasil sensus penduduk di Indonesia. Pertumbuhan penduduk adalah perubahan penduduk yang dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk migrasi. Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dikatakan tinggi jika laju pertumbuhan penduduknya mencapai angka lebih dari 2%. Jika angka pertumbuhannya antara 1 dan 2 persen, laju pertumbuhan termasuk sedang. Jika angka pertumbuhan kurang dari satu persen, laju pertumbuhan termasuk rendah. Berdasarkan kriteria tersebut, pada sensus 2010, laju pertumbuhan penduduk Indonesia tergolong sedang. Sementara itu, negara-negara maju memiliki laju pertumbuhan penduduk yang rendah. Namun demikian, ada kecenderungan laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurun yang berarti sedang menuju ciri kependudukan negara maju pada umumnya. Jumlah dan Angka Pertumbuhan Penduduk Sejumlah Negara di Dunia per PendudukKem per pendudukNatural Increase Negara Maju Baru4,51470,7 Negara Berkembang Laju pertumbuhan penduduk bervariasi antara satu negara dan negara lainnya. Negara tertentu angka pertumbuhannya tergolong tinggi, sementara yang lainnya tergolong rendah. Bahkan, ada beberapa negara yang angka pertumbuhan negatif. Jika suatu negara pertumbuhan penduduknya negatif maka negara tersebut penduduknya tidak bertambah malah berkurang jumlahnya. Berikut ini adalah hasil sensus penduduk Indonesia setelah kemerdekaan. Tahun SensusJumlah Penduduk jutaLaju Pertumbuhan % 196197,12,15 1971119,22,13 1980147,52,32 1990179,31,97 2000209,61,45 2010237,561,49 Adanya perbedaan laju pertumbuhan penduduk antara satu negara dan negara lainnya menyebabkan setiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Kebijaksanaan kependudukan berhubungan dengan dinamika kependudukan, yaitu perubahan-perubahan terhadap tingkat fertilitas, mortalitas dan migrasi. Ada dua macam kebijakan kependudukan yaitu kebijakan pro-natalis dan anti-natalis. Kebijakan pro-natalis mendukung penduduknya untuk memiliki jumlah anak yang banyak. Contoh negara tersebut adalah Kuwait, Jepang, Argentina, Brasil, Jerman, Israel. Kebijakan anti-natalis mendukung kebijakan yang mendorong turunnya angka kelahiran. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang terlalu besarr. Contoh negara yang menerapkan kebijakan ini adalah China dengan kebijakan satu anak one child policy Negara lainnya yang menerapkan kebijakan tersebut adalah Indonesia, Nigeria, India, dan sejumlah negara lainnya. Program Keluarga Berencana KB mencerminkan kebijakan antinatalis di Indonesia. Program tersebut diharapkan mampu mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Jika laju pertumbuhan terkendali, diharapkan kualitas penduduknya akan makin baik. Dengan cara demikian, Indonesia diharapkan dapat lebih cepat menjadi negara maju. Dampak Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk ternyata membawa dampak positif dan negatif bagi suatu negara. Beberapa dampak pertumbuhan penduduk antara lain sebagai berikut. Dampak PositifDampak Negatif Tersedianya tenaga kerja untuk meningkatkan produksi dalam memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Bertambahnya kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan sehingga berkembang jumlah dan jenis usaha lokal. Meningkatnya investasi atau penanaman modal karena makin banyak kebutuhan manusia. Meningkatnya inovasi karena penduduk dipaksa untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya, agar produktivitas lahan pertaniannya meningkat, manusia mengembangkan pupuk dan benih unggul untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Meningkatnya Angka Pengangguran karena tidak terserap lapangan pekerjaan Meningkatnya Angka Kriminal karena desakan kebutuhan. Meningkatnya Angka Kemiskinan karena tidak terpenuhinya kebutuhan Berkurangnya Lahan untuk Pertanian karena digunakan untuk lahan pemukiman Makin Banyaknya Limbah dan Polusi yang disebabkan kegiatan industri, perdagangan, dan rumah tangga. Ketersediaan Pangan Makin Berkurang karena kekurangan lahan pertanian Kesehatan Masyarakat Makin Menurun Berkembangnya Permukiman Tidak Layak Huni Upaya Mengendalikan Pertumbuhan Penduduk Upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk di Indonesia di antaranya diselenggarakan melalui program Keluarga Berencana KB. Program KB mulai digalakkan pada tahun 1970-an. Program tersebut membuahkan hasil karena angka pertumbuhan penduduk mulai berkurang. Tingkat kelahiran yang pada tahun 1970-an mencapai 5,6, pada tahun 2013 turun menjadi 2,6. Tujuan dari program KB tidak hanya sekadar mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga memperbaiki kesejahteraan ibu, anak dan keluarga, mengurangi angka kelahiran dan meningkatkan taraf hidup bangsa. Meningkatkan pendidikan, karena pendidikan diyakini akan mengubah cara pandang tentang jumlah anak dan melakukan perencanaan keluarga yang baik. Pendidikan juga dapat menunda usia pernikahan sehingga mengurangi kemungkinan untuk memiliki banyak anak. Pemberdayaan generasi muda, karena generasi muda yang terdidik dan bekerja akan mengurangi kemungkinan memiliki anak dalam jumlah banyak. Mereka akan berpikir rasional dalam menentukan jumlah anak sehingga perannya dalam masyarakat tidak terkendala oleh banyaknya anak. Meningkatkan peran pemuda dalam berbagai aktivitas seperti olahraga, seni, dan budaya. Berbagai aktivitas tersebut akan menunda usia menikah karena kesibukan mereka. Mobilitas Penduduk di Indonesia Perpindahan penduduk dapat berupa perpindahan dari desa ke kota, antarprovinsi, antar-pulau, dan bahkan perpindahan ke negara lainnya. Perpindahan penduduk Indonesia ke negara lain masih sangat kecil dibandingkan dengan tipe migrasi lainnya. 1. Urbanisasi Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi di Indonesia sangat jelas terjadi di Pulau Jawa yang daerah perkotaannya banyak berkembang. Banyak penduduk desa yang kemudian memutuskan untuk tinggal di kota, baik untuk menetap atau sementara. Berpindahnya penduduk di Indonesia, terutama setelah kemerdekaan disebabkan oleh beberapa faktor pendorong dan faktor penarik seperti di bawah ini. Faktor PendorongFaktor Penarik Rendahnya penghasilan atau upah di desa sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup. Makin terbatasnya pemilikan lahan pertanian akibat makin besarnya jumlah penduduk di desa. Terbatasnya lapangan kerja di desa. Terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan di desa. Terbatasnya sarana hiburan di desa. Adanya bencana alam di desa, misalnya kekeringan, banjir, longsor dan lain-lain. Upah di kota yang lebih tinggi dibandingkan dengan di desa. Jumlah dan peluang pekerjaan di kota yang lebih banyak dan bervariasi Sarana dan prasarana pendidikan yang lebih memadai Sarana dan prasarana hiburan yang lebih memadai 2. Transmigrasi Transmigrasi adalah perpindahan penduduk antarprovinsi di Indonesia. Transmigrasi sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, transmigrasi dilaksanakan pertama kali pada tahun 1905. Pada saat itu, sebanyak 155 keluarga dari Karesidenan Kedu meliputi daerah Karanganyar Kebumen, Kebumen, dan Purworejo Jawa Tengah berhasil dipindahkan ke Gedongtatan, Provinsi Lampung. Jumlah penduduk yang dipindahkan mencapai jiwa. Pada masa pendudukan Jepang, dilaksanakan transmigrasi dari Jawa ke Lampung. Jumlah keluarga yang diberangkatkan mencapai keluarga atau jiwa. Pada masa Jepang, pelaksanaan transmigrasi dimaksudkan untuk mobilisasi tenaga kerja ke perkebunan di luar Jawa atau disebut Romusha. Transmigrasi Periode 1994-1999 Pada masa setelah Kemerdekaan, pemerintah melakukan transmigrasi melalui beberapa periodesasi, yaitu 1945-1950, 1950-1968, 1969-1974, 1974- 1979, 1979-1984, 1984-1989, 1989-1994, 1994-1999, 1999-2000, 2001-2003, 2004-sekarang. Daerah tujuannya makin luas tidak hanya ke Lampung, tetapi juga ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat Ketika pertanyaan tentang dampak keabsahan dari teori Thomas Robert Malthus tentang pertumbuhan penduduk menurut deret ukur, sementara pertumbuhan bahan makanan menurut deret hitung diajukan, National Academic Sience of America NASA membuat kelompok kerja untuk menjawab pertanyaan pertama kali dikoordinasikan oleh Ansley Coale dan Edgar M Hoover dan melihat India sebagai daerah kajian. Kajian pada awal 1960-an membuktikan bahwa pertumbuhan penduduk menghalangi pembangunan. Berlawanan dengan itu, Julian Simon, ekonom Amerika, membantah bahwa hubungan antara pertumbuhan penduduk terlihat tidak jelas negligible. Rekomendasi dari hasil kajian itu adalah negara berkembang disarankan untuk masuk ke rezim dalam rezim pembangunan, penduduk mesti dikendalikan. Cara pengendalian adalah dengan mengurangi angka kelahiran melalui program keluarga berencana, memajukan pendidikan wanita, dan ekonomi keluarga. Indonesia sangat jelas menggunakan cara pandang itu ketika Profesor Widjojo Nitisastro, ekonom UI, menjabat ketua Bappenas sejak Repelita II, 1974. Ketika itu persoalan kependudukan terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan. Pada awal periode pertama, Jawa dan Bali dijadikan sebagai prioritas program KB nasional, kemudian dilanjutkan ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara sebagai prioritas tahap kebijakan keluarga berencana di Indonesia telah menyebabkan transisi demografi begitu cepat di Indonesia. Jawa dan Bali tercatat sebagai daerah dengan angka kelahiran yang turun lebih cepat dari perkiraan. Sumatera dan daerah lain mengikutinya. Proses ini berlanjut dan berakhir menjelang kejatuhan Soeharto. Setelah zaman reformasi, sepertinya aspek kependudukan kehilangan petunjuk dan arah. Tampaknya berbalik ke rezim yang tidak mendapatkan perhatian utama, atau setidaknya menganut berlawanan dengan antinatalis, alias PronatalisDikatakan tidak terarah jelas ketika target angka kelahiran total TFR pada tahun 2015 sebesar 2,1 per wanita dipastikan tidak akan tercapai. Kenapa? Mari kita simak hasil Survei Demografi Kesehatan IndonesiaSDKI dua seri waktu terakhir. SDKI 2007 dan 2012 merupakan dua informasi terakhir dari data kependudukan di Indonesia. Isi dari keduanya menunjukkan bahwa angka kelahiran, yang dihitung dari rata-rata kelahiran wanita berusia 15-49 tahun, telah mengalami kenaikan dari 2,4 per wanita, menjadi 2, pertanda terjadi kenaikan dari angka kelahiran. Temuan demikian sejalan dengan hasil sensus penduduk 2010, di mana jumlah penduduk Indonesia melebihi dari perkiraan yang ditetapkan sebelumnya. Bagaimana menjelaskan fenomena itu? Beberapa penjelasan diperkirakan dapat dijadikan titik kritis kenapa Indonesia menganut rezim pronatalis, rezim pemerintahan dengan kebijakan kependudukan menggunakan skenario lemah untuk kebijakan mengendalikan desentralisasi pembangunan telah mengurangi arti komando dari kebijakan kependudukan semasa Emil Salim dan Haryono Suyono. Kedua menteri ini telah memberikan perhatian intensif terhadap persoalan kependudukan. Terpusatnya program kependudukan dan keluarga berencana KB dapat menggerakkan dan mengimplementasikan program kependudukan secara intensif. Jangkauan program sampai pada pasangan usia subur PUS, dan menggerakkan para petugas keluarga berencana volunteer di desentralisasi digulirkan, sebagian besar pemerintah daerah tidak mengelola persoalan kependudukan menjadi program penting, tidak seaktif rezim sebelumnya. Boleh dibilang sangat langka pemerintah daerah yang mengalokasikan APBD untuk kebijakan kependudukan, kecuali peranan dari dinas catatan sipil, karena terintegrasi dengan struktur organisasi di pemerintah masa ini, kalaupun BKKBN masih ada pada level provinsi, corak dan intensitas kebijakan kependudukan relatif sebagai akibat dari yang pertama, target untuk menjangkau pasangan usia subur menjadi tidak begitu terarah. Angka penggunaan kontrasepsi pada kisaran 70 persen memang bisa dicapai. Namun, efektivitas penggunaan alat kontrasepsi menjadi berkurang karena pengguna KB pada umumnya adalah wanita dan berdimensi jangka pendek. Suntik dan pil adalah dua jenis alat kontrasepsi utama jangka pendek, sementara IUD dan kondom relatif sedikit yang menggunakan, apalagi KB kelahiran yang tidak direncanakan, unwanted birth, menjadi relatif masih tinggi. Ketiga, masih belum adanya strategi yang bersungguh-sungguh untuk menjangkau pasangan yang sebenarnya ingin menghentikan kelahiran, unmeet mereka tidak memperoleh pelayanan keluarga berencana. Angka ini sangat nyata dan kelihatan tidak bergerak turun pada dua kurun waktu survei. SDKI 2007 dan 2012 masih menunjukkan angka unmeet need masih berkisar antara 11- 12%.Padahal jika program KB diarahkan pada kelompok ini, sebenarnya akan semakin baik dampaknya terhadap penurunan angka InklusifJika tiga persoalan di atas sebagai penjelas negara masuk ke dalam rezim pronatalis, sebenarnya pendirian untuk mengendalikan jumlah penduduk sudah saatnya. Fokus dapat ditujukan pada kelompok pasangan PUS inklusif. Siapa mereka? Mereka adalah kelompok pasangan usia subur yang secara geografis tinggal di daerah yang sulit terjangkau pelayanan petugas keluarga berencana. Mereka mendiami wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, masyarakat pedalaman hutan dan perkebunan, masyarakat tertinggal, perbatasan, miskin, suku terasing, dan kelompok khas yang menganggap banyak anak banyak untuk menjangkau mereka adalah mesti lebih aktif ketimbang reaktif. Berbagai cerita sukses kader KB-KES di lapangan menunjukkan bahwa saatnya untuk melakukan revitalisasi kader KB-KES di daerah-daerah tersulit. Kader direkrut dan berciri integritas yang terbaik. Saat bersamaan fungsi mereka dapat mengangkat kesenangan untuk bekerja melayani sampai ke pelosok-pelosok. Keberadaan kader bekerja sama dengan bidan desa akan menjadikan sebuah gerakan program yang sukses di China bercirikan pada integritas yang tinggi dan memberikan pelayanan yang pasti oleh tenaga medis sampai ke pelosok-pelosok menjangkau keluarga yang berisiko tinggi memiliki angka kelahiran di atas rata-rata. Saat bersamaan pemerintah daerah juga dapat menjadikan program KB terintegrasi dengan program pembangunan lainnya. Sudah saatnya anak-anak mereka untuk memperoleh akses pada layanan khusus saatnya juga keluarga ini memperoleh kepastian dalam setiap program pemberdayaan ekonomi. Sudah saatnya juga kampanye kependudukan diarahkan kepada kelompok ini. Sekiranya ada kepastian diarahkan kepada keluarga ini, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama akan berbalik rezim ini masuk ke dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan. Kapan? Menunggu kemudahan hati SBY-Boediono atau Besar Ekonomi SDMUniversitas Andalaslns

negara yang menerapkan kebijakan pro natalis